MALARIA kembali memakan korban. Dalam dua minggu
terakhir Pulau Sabu dan Pulau Semau menjadi saksi kembali mengganasnya
penyakit yang telah berumur ribuan tahun ini. Tercatat, tidak kurang
dari 1.730 orang Sabu (Pos Kupang 06/05) dan 556 orang Semau (Pos Kupang 05/05)
positif malaria. Dari jumlah ini sedikitnya delapan bocah di Desa
Uitiuana, Kecamatan Semau, akhirnya menyerahkan nyawanya direnggut
keganasan penyakit ini.
Kejadian luar biasa malaria di Kabupaten Kupang
akhir-akhir ini juga merupakan suatu pukulan yang sangat berat bagi
sektor kesehatan dan masyarakat NTT tentunya — di tengah tingginya beban
ekonomi sehari-hari dan pro kontra naiknya tarif berobat di Rumah Sakit
Umum Prof. Yohanes-Kupang. Kejadian kali ini juga merupakan suatu
tamparan bagi Kabupaten Kupang, karena di kabupaten inilah enam tahun
yang lalu, tepatnya pada 8 April 2000, bertempat di Desa Babau, Dr.
Achmad Sujudi, Menteri Kesehatan RI saat itu — didampingi Kepala
Perwakilan WHO untuk Indonesia Dr. Georg Petersen – mencanangkan
dimulainya Gerakan Berantas Kembali Malaria atau “GEBRAK MALARIA” secara
nasional. Suatu gerakan nasional yang diharapkan dapat menekan penyakit
malaria dengan melibatkan berbagai komponen atau elemen masyarakat.
Namun ternyata gerakan ini masih belum berhasil mengontrol kasus
malaria. Suatu momen sejarah yang sebenarnya harus dikenang secara
manis, ternyata harus diperingati dengan kenyataan pahit. Malaria
kembali menjadi masalah di kawasan ini.
Penyakit malaria tidak hanya menjadi masalah
Kabupaten Kupang. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan
masyakarat utama di seluruh dunia. Dalam buku The World Malaria Report 2005,
Badan Kesehatan Dunia (WHO), menggambarkan walaupun berbagai upaya
telah dilakukan, hingga tahun 2005 malaria masih menjadi masalah
kesehatan utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini menyerang
sedikitnya 350-500 juta orang setiap tahunnya dan bertanggung jawab
terhadap kematian sekitar 1 juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan
masih sekitar 3,2 miliar orang hidup di daerah endemis malaria. Malaria
juga bertanggung jawab secara ekonomis terhadap kehilangan 12 %
pendapatan nasional, negara-negara yang memiliki malaria.
Di Indonesia sendiri, diperkirakan 50 persen penduduk
Indonesia masih tinggal di daerah endemis malaria. Menurut perkiraan
WHO, tidak kurang dari 30 juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya di
Indonesia, dengan 30.000 kematian. Survai kesehatan nasional tahun 2001
mendapati angka kematian akibat malaria sekitar 8-11 per 100.000 orang
per tahun. United Nation Development Program (UNDP,2004) juga mengklaim bahwa akibat malaria, Indonesia sedikitnya mengalami kerugian ekonomi sebesar $ 56,6 juta pertahun.
Secara nasional, Propinsi NTT merupakan propinsi
dengan angka kesakitan malaria tertinggi. Data Depkes RI tahun 2005
menunjukkan bahwa NTT memiliki angka kesakitan malaria 150 per 1.000
orang per tahun, diikuti oleh Papua, 63,91 kasus per 1000 penduduk per
tahun. Di tahun 2004, dilaporkan tidak kurang dari 711.480 kasus malaria
klinik terjadi di NTT, dimana 20% dari 75.000 slide darah yang
diperiksa positif malaria. Bahkan data Depkes (2000) menunjukkan bahwa
tidak kurang dari 73% kasus yang diobati di puskesmas dan rumah sakit di
NTT adalah malaria. Dinas Kesehatan NTT juga mencatat bahwa khusus
untuk Kabupaten Kupang, rata-rata kasus malaria klinis dari tahun
2002-2004 mencapai 181 kasus per 1.000 orang pertahun, bahkan di tahun
2004 mencapai 205 kasus per 1.000 orang pertahun. Angka ini menunjukkan
bahwa untuk daratan Timor, Kabupaten Kupang menempati rangking tertinggi
kejadian malaria klinis setiap tahunnya.
Sebenarnya, apa dan bagaimana penyakit malaria?
Kenapa setelah ribuan tahun penyakit ini masih menjadi momok yang
menakutkan bagi sebagian besar umat manusia? Andrew Spieldman dan
Michael D’Antonio, dalam novelnya yang berjudul “Mosquito – The Story of Man’s Deadliest Foe”
menggambarkan bahwa “tidak ada satu pun binatang di muka bumi ini yang
menyentuh secara langsung dan sebegitu dalamnya mempengaruhi kehidupan
dan takdir sebagian besar amat manusia”. Kedua novelist ini
menggambarkan bahwa ternyata nyamuk — seekor makluk kecil yang mungkin
dengan sekali tepukan bisa dimatikan – sepanjang sejarah kehidupan,
telah menjadi pengganggu dan bahkan pembunuh nomor satu umat manusia di
seluruh dunia. Sejak hadirnya, nyamuk telah mengalahkan begitu banyak
pemimpin perang besar di zaman dahulu, termasuk Napoleon dan pasukannya.
Bahkan disebutkan bahwa dalam Perang Dunia I, prajurit Inggris yang
mati karena digigit “nyamuk” malaria lebih banyak dari yang mati karena
tertembak peluruh musuh. Tidak hanya sampai di situ, Sandosham (1965),
salah satu malarioligist ternama juga menggambarkan bahwa nyamuk dan
malaria juga telah mengalahkan banyak raja besar Romawi pada zaman
Alexander the Great. Tidak hanya prajurit dan raja, nyamuk dan malaria
juga ikut membunuh para Paus, pemimpin agama dan negara lainnnya serta
tentunya jutaan umat manusia di seluruh muka bumi.
Harrison juga dalam bukunya “Mosquito, Malaria and Man. – A History of Hostilities Since” menggambarkan malaria sebagai “the ancient deadly disease”.
Memang, sejarah perkembangan malaria hampir sama tuanya dengan sejarah
kehadiran manusia di muka bumi. Para ahli memperkirakan bahwa malaria
kemungkinan berawal dari Afrika sekitar 12.000 – 17.000 tahun yang lalu.
Dari benua ini, malaria kemudian menyebar ke suluruh dunia, terutama di
daerah tropis,sejalan dengan sejarah dimulai penjelajahan umat manusia
menemukan dan menaklukkan daerah-daerah baru, perdagangan serta sejarah
penjualan budak-budak Afrika pada zaman dulu ke Amerika dan
daerah-daerah lainnya.
Malaria juga sudah dikenal oleh para dokter pada
zaman China kuno sekitar tahun 2700 sebelum masehi. Adalah Hippocrates,
sang bapak kedokteran, yang pertama kali menggambarkan gejala-gejala
klinis malaria pada sekitar abab IV Masehi. Kata malaria sendiri berasal
dari bahasa Itali, “mal’aria”. Pada zaman dulu, orang
beranggapan bahwa malaria disebabkan oleh udara yang kotor. Sementara di
Perancis dan Spanyol, malaria dikenal dengan nama “paladisme atau paludismo“,
yang berarti daerah rawa atau payau karena penyakit ini banyak
ditemukan di daerah pinggiran pantai. Saking terkenalnya penyakit
malaria, William Shakespeare, salah satu penulis Inggris yang paling
terkenal sepanjang abad 16-17, juga telah menggambarkan penyakit malaria
dalam salah satu karyanya sebagai “The Caliban Curse“. Caliban adalah salah satu budak Afrika yang dikutuk dalam karya Shakespeare, The Tempest (1611).
Pertanyaan sekitar penyebab penyakit malaria akhirnya
dijawab oleh Ronald Ross, seorang dokter militer Ingris yang bertugas
di India pada tahun 1897. Ross berhasil membuktikan bahwa ternyata
malaria tidak disebabkan oleh udara kotor tetapi akibat gigitan nyamuk anopheles.
Secara teoritis, cukup hanya dengan satu kali gigitan nyamuk anophles
seseorang sudah bisa terjangkit malaria, jika nyamuk ini mengadung
parasite malaria. Berkat penemuannya, Ross akhirnya memenangkan hadiah
Nobel.
Penyakit malaria sebenarnya merupakan sejenis penyakit yang disebabkan oleh parasite yang dikenal dengan nama plasmodium. Parasite ini mempunyai empat jenis yaitu plasmodium falciparum,
penyebab malaria tropikana dan merupakan jenis malaria yang paling
berbahaya dengan tingkat kematian tinggi. Jenis, plasmodium yang kedua
adalah plasmodium vivax, penyebab malaria jenis tertiana. Selanjutnya, plasmodium malarie, dan plasmodium ovale,
masing-masing penyebab malaria jenis quartana dan ovale. Kedua jenis
malaria pertama adalah merupakan jenis malaria yang paling banyak
ditemukan di Indonesia.
Kenapa sulit dikontrol?
Walaupun ditularkan oleh nyamuk, penyakit malaria
sebenarnya merupakan suatu penyakit ekologis. Penyakit ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk
untuk berkembang biak dan berpotensi melakukan kontak dengan manusia dan
menularkan parasit malaria. Contoh faktor-faktor lingkungan itu antara
lain hujan, suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin, ketinggian. Air
merupakan faktor esensial bagi perkembang-biakan nyamuk. Karena itu
dengan adanya hujan bisa menciptakan banyak tempat perkembangbiakan
nyamuk akibat genangan air yang tidakdialirkan di sekitar rumah atau
tempat tinggal. Nyamuk dan parasit malaria juga sangat cepat berkembang
biak pada suhu sekitar 20-27 derajat C, dengan kelembaban 60-80 %.
Karena itu iklim di NTT memiliki kondisi suhu dan kelembaban yang ideal
untuk perkembangbiakan nyamuk dan parasit malaria.
Secara teoritis, nyamuk bisa terbang sampai 2-3 km,
namun pengaruh angin, jarak terbang nyamuk bisa mencapai 40 km. Bahkan
dengan perkembangan sarana transportasi, nyamuk bisa mencapai daerah
yang jauh dengan menumpang alat transportasi. Para ahli juga
memperkirakan bahwa perubahan iklim global telah turut mempengaruhi
penyebaran nyamuk malaria. Nyamuk anopheles yang biasanya hanya
ditemukan di daerah dataran rendah sekarang bahkan bisa ditemukan di
daerah pengunungan, yang tingginya di atas 2000 m dari permukaan laut.
Salah satu faktor lingkungan yang juga mempengaruhi
peningkatan kasus malaria adalah penggundulan hutan, terutama
hutan-hutan bakau di pinggir pantai. Akibat rusaknya lingkungan ini,
nyamuk yang umumnya hanya tinggal di hutan, dapat berpindah ke pemukiman
manusia. Di daerah pantai, kerusakan hutan bakau dapat menghilangkan
musuh-musuh alami nyamuk sehingga kepadatan nyamuk menjadi tidak
terkontrol.
Malaria juga sulit diberantas karena keberadaan
nyamuk itu sendiri yang mencapai ratusan spesies. Tidak kurang dari 400
jenis nyamuk anopheles hidup di muka bumi. Dari jumlah ini, “hanya” 80
jenis yang dapat menularkan malaria. Indonesia memiliki
sekurang-kurangnya 20 jenis anopheles; dimana 9 spesies di antaranya
ditemukan di daerah NTT.
Faktor lain yang turut memperparah kondisi malaria di
dunia, termasuk di Indonesia adalah akibat resistensi nyamuk terhadap
insektisida dan obat anti malaria. Zaman dulu DDT merupakan insektisida
yang sangat ampuh membunuh nyamuk malaria dan berhasil menekan kasus
malaria di berbagai belahan bumi. Namun belakangan diketahui bahwa
ternyata nyamuk telah menjadi kebal dengan DDT dan juga pengaruh negatif
DDT terhadap kematian serangga lain yang ternyata secara ekologis
berguna bagi manusia. Karena itu DDT akhirnya dilarang dan tindakan
penyemprotan rumah untuk tindakan anti malaria menggunakan insektisida
lain yang lebih mahal. Akibatnya tindakan penyemprotan merupakan
kebijakan paling akhir yang baru bisa diambil jika cara lainnya dianggap
gagal dan hanya dalam keadaan kejadian luar biasa atau wabah. Tentunya
harus didahului dengan survai entomologis untuk mengetahui secara pasti
kebiasaan dan perilaku nyamuk malaria sebelum disemprot.
Pada zaman dulu, klorokuin merupakan obat anti
malaria yang paling ampuh yang dipakai untuk mengobati malaria. Dewasa
ini, klorokuin juga mulai kehilangan keampuhannya akibat resistensi
parasit malaria terhadap klorokuin. Kondisi ini terjadi karena pola
pengobatan dan dosis klorokuin yang sering tidak sesuaistandar. Sekarang
untuk pengobatan malaria mulai memakai obat baru yang dikenal dengan
sebutan artemisinin combination treatment atau ACT. Untuk itu,
agar tidak terjadi resisten pengobatan lagi, sangat diharapkan para
petugas kesehatan memberikan dosis pengobatan yang tepat dan juga pasien
atau masyarakat harus taat minum obat sesuai dosis yang disarankan.
Jangan karena merasa sudah sembuh, lantas pengobatan dihentikan. Ini
akan sangat berbahaya karena dapat menimbulkan resistensi obat malaria
di masa depan.
Cara terakhir untuk mengontrol malaria secara “mudah
dan murah” adalah upaya proteksi diri dan keluarga terhadap gigitan
nyamuk malaria. Marilah kita secara bersama-sama memperhatikan
lingkungan sekitar kita.
Bebaskan rumah dan tempat tinggal kita dari genangan
air atau tutuplah tempat-tempat penampungan air yang bisa menjadi sarang
nyamuk. Biasakanlah tidur dengan menggunakan kelambu atau baju lengan
panjang. Jangan biarkan terjadi kontak antara nyamuk dengan diri Anda.
Selanjutnya, jika Anda sakit, cepatlah mencari pengobatan sehingga Anda
tidak menjadi sumber penuluran bagi keluarga dan tetangga Anda. Yang
paling penting, minumlah obat sesuai dosis yang diberikan sampai habis.
Jangan biarkan malaria merongrong kehidupan kita terus. Mari berantas
nyamuk untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi kita.
* Penulis, PNS pada Dinas Kesehatan NTT
No comments:
Post a Comment