ustadz, ane mau tanya, bagaimana hukum memakai raket pembunuh
nyamuk mengingat banyak dari kita yang menggunakannya.
Didik (didiknet2@gmail.com)
Jawab:
Simaklah fatwa Lajnah Daimah no 5176 berikut ini:
Pertanyaan,
“Apa hukum membunuh nyamuk atau binatang semisal dengan raket listrik
padahal Nabi memerintahkan kita untuk membunuh atau menyembelih binatang
dengan cara yang baik?”
Jawaban, “Jika binatang tersebut itu secara
riil memang mengganggu dan tidak ada jalan untuk terbebas dari
gangguannya kecuali dengan membunuhnya menggunakan raket listrik atau
alat semisalnya hukum membunuhnya dengan cara semacam itu diperbolehkan.
Hukum
di atas adalah pengecualian dari perintah untuk membunuh binatang
dengan cara yang baik karena alasan kondisi darurat. Inilah kesimpulan
umum yang bisa kita ambil dari sabda Nabi, “Ada lima hewan pengganggu
yang boleh dibunuh baik di tanah haram ataupun di tanah halal, burung
gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus dan anjing yang galak” [HR
Bukhari, Muslim dll].
Alasan lain adalah mengingat perintah Nabi
untuk menenggelamkan lalat yang jatuh ke gelas berisi minuman ke dalam
minuman yang boleh jadi dengan hal tersebut lalat tadi mati”.
Fatwa
ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku
ketua Lajnah Daimah dan Abdullah bin Qaud selaku anggota. [Fatawa Lajnah
Daimah yang dikumpulkan oleh Syaikh Ahmad bin Abdurrazzaq ad Duwaisy
jilid 26 kitab al Jami’ hal 192-193, terbitan Ulin Nuha lil Intaj,
Kairo].
Bismillah
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabaarakatuh.
Ustadz, Di antara ulama yang mengharamkan dan yang membolehkan
perhiasan emas yang bentuknya melingkar bagi wanita, manakah yang
rajih? Kami mohon penjelasannya.
Baarakallaahufiikum.
Wassalamu'alaikum warahmatullaahi wabaarakatuh.
Salim (sulaim73@gmail.com)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarokatuh
Yang benar wanita diperbolehkan memakai segala bentuk emas baik yang melingkar ataupun tidak.
عَنْ
عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ
أَهْلِ الْيَمَنِ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَبِنْتٌ لَهَا فِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ
مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ أَتُؤَدِّينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ
أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِمَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا
فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari
‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakek ayahnya yaitu Abdullah bin
‘Amr bin al ‘Ash, ada seorang wanita Yaman yang datang menemui
Rasulullah bersama seorang anak perempuannya yang memakai gelang emas
yang besar. Nabi bersabda kepada sang ibu, “Apakah telah kaubayarkan
zakat dari gelang itu?” Sang ibu menjawab, “Belum”. Nabi bersabda,
“Apakah anda senang jika Allah pada hari Kiamat nanti mengenakan pada
tangan anda dua gelang dari api neraka?!”. Sang ibu lantas melepas dua
buah gelang tersebut dari putrinya dan menyerahkannya kepada Rasulullah
lalu berikrar, “Dua gelang tersebut untuk Allah dan rasul-Nya” [HR Nasai
no 2479, dinilai hasan oleh al Albani].
Dalam hadits di atas Nabi
menjelaskan wajibnya zakat pada dua gelang tersebut. Nabi tidak
menyalahkan tindakan sang ibu yang mengenakan gelang pada putrinya maka
hal ini adalah dalil menunjukkan bolehnya hal tersebut, padahal tentu
saja gelang tersebut melingkar.
عن عائشة رضى الله عنها قالت قدمت على
النبى -صلى الله عليه وسلم- حلية من عند النجاشى أهداها له فيها خاتم من
ذهب فيه فص حبشى - قالت - فأخذه رسول الله -صلى الله عليه وسلم- بعود معرضا
عنه أو ببعض أصابعه ثم دعى أمامة ابنة أبى العاص ابنة ابنته زينب فقال «
تحلى بهذا يا بنية ».
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa Nabi
mendapatkan hadiah dari Najasyi berupa beraneka ragam perhiasan
diantaranya adalah cincin emas yang bermata batu khas Habasyah.
Rasulullah mengambil cincin tersebut sambil memalingkan muka dengan
menggunakan kayu atau salah satu jarinya kemudian beliau memanggil
Umamah binti Abil ‘Ash yang merupakan cucu beliau karena Umamah ini
merupakan putri dari Zainab. Setelah Umamah datang beliau mengatakan,
“Berhiaslah dengan cincin ini wahai putriku” [HR Abu Daud no 4235,
sanadnya dinilai hasan oleh Al Albani].
Dalam hadits di atas Nabi
memberi Umamah cincin yang tentu saja adalah emas yang melingkar dan
Nabi berkata “Berhiaslah dengan memakainya” maka ini adalah dalil tegas
menunjukkan bolehnya emas melingkar sebagai hiasan.
عن عطاء عن أم سلمة قالت كنت ألبس أوضاحا من ذهب فقلت يا رسول الله أكنز هو فقال « ما بلغ أن تؤدى زكاته فزكى فليس بكنز ».
Dari
Atha’ dari Ummu Salamah, beliau bercerita bahwa beliau memakai gelang
kaki dari emas lalu beliau bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, apakah
gelang kaki ini adalah simpanan yang terlarang?”. Nabi bersabda, “Jika
sudah waktunya untuk dizakati lalu zakatnya sudah dibayarkan maka itu
bukanlah harta simpanan yang terlarang”[HR Abu Daud no 1564].
Dalam
hadits di atas Nabi mengizinkan Ummu Salamah untuk memakai gelang kaki
terbuat dari emas asalkan kewajiban zakatnya sudah dibayarkan.
Assalamu'alaikum ustadz,
saya mau tanya siapakah yang dianjurkan mengadakan walimah? Dari pihak ikhwan atau pihak akhwat?
Hana (h_zieza@yahoo.com)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Syaikh
Abdullah al Bassam mengatakan, “Sesungguhnya walimah nikah itu menjadi
tanggung jawab suami bukan tanggung jawab isteri atau orang tua isteri
karena suami isterilah yang punya acara walimah nikah. Sedangkan
suamilah yang bertanggung jawab memberi nafkah sehingga walimah nikah
adalah tanggung jawab suami. Nabi bersabda kepada suami,
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakanlah walimah nikah meski hanya dengan menyembelih seekor kambing” [HR Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik].
Jadi
suamilah yang diperintahkan oleh Nabi untuk mengadakan walimah nikah”
[Taudhih al Ahkam juz 5 hal 484 Darul Maiman Riyadh, cet kedua 1430 H].
Ustadz...
ada seorang bapak meninggal dunia, dulu pernah pinjam 2 bahu tanah
milik anaknya yang sudah menikah dengan menjanjikan bagi hasil kalau
bisnisnya berhasil, tetapi sekian lama tidak kunjung ada bagi hasil
sampai akhirnya bapak itu wafat.
pertanyaanya...bapak itu meninggalkan harta warisan berupa tanah dan
bangunan, apakah hutang yang bapak tersebut kepada anaknya wajib
dibayar? lalu bagaimana dengan janji bapak itu yang akan memberi hasil
apakah juga harta itu bisa diambil dengan nilai hasil dari pinjaman?
kedua ada diantara anak-anaknya yang saat adik-adiknya masih sekolah
banyak membantu bapak itu dalam nafkah, berhakkah anak tersebut
mendapatkan harta warisan yang lebih karena jasanya itu? mohon
penjelasannya beserta dalil-dalilnya, jazakallah khoiron katsiro
Abu Naoval (dedetaruna@plasa.com)
Jawab:
Jika
ortu mengambil harta anak maka tidak boleh bagi anak untuk menuntut
orang tuanya agar mengembalikannya. Jika ternyata orang tua
mengembalikan maka Alhamdulillah namun jika tidak mengembalikan maka
itulah hak orang tua.
عن عائشة عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال " ولد الرجل من كسبه من أطيب كسبه فكلوا من أموالهم "
Dari
Aisyah dari Nabi, beliau bersabda, “Anak seseorang itu termasuk jerih
payah orang tersebut bahkan termasuk jerih payahnya yang paling bernilai
maka makanlah sebagian harta anak” [HR Abu Daud no 3529 dan dinilai
sahih oleh al Albani].
إن من أطيب ما أكل الرجل من كسبه وولده من كسبه
Nabi
bersabda, “Seenak-enak makanan yang dimakan oleh seseorang adalah hasil
jerih payah seseorang dan anak seseorang adalah termasuk jerih
payahnya” [HR Abu Daud no 3528 dan dinilai sahih oleh al Albani].
عن جابر بن عبد الله أن رجلا قال يا رسول الله إن لي مالا وولدا. وإن أبي يريد أن يجتاح مالي. فقال: ( أنت ومالك لأبيك )
Dari
Jabir bin Abdillah, ada seorang berkata kepada Rasulullah, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak namun ayahku ingin
mengambil habis hartaku”. Rasulullah bersabda, “Engkau dan semua hartamu
adalah milik ayahmu” [HR Ibnu Majah no 2291, dinilai sahih oleh al
Albani].
Hadits ini menunjukkan bahwa sang anak dalam hal ini sudah
berkeluarga bahkan sudah memiliki anak meski demikian Nabi tetap
mengatakan “Semua hartamu adalah milik ayahmu”.
عن عمرو بن شعيب عن
أبيه عن جده قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال إن أبي اجتاح
مالي. فقال:( أنت ومالك لأبيك ) وقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إن
أولادكم من أطيب كسبكم . فكلوا من أموالهم )
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari
ayahnya dari kakek ayahnya yaitu Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash, ada
seorang yang menemui Nabi lalu mengatakan, “Sesungguhnya ayahku itu
mengambil semua hartaku”. Nabi bersabda, “Engkau dan semua hartamu
adalah milik ayahmu”. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya anak-anak
kalian adalah termasuk jerih payah kalian yang paling berharga. Makanlah
sebagian harta mereka” [HR Ibnu Majah no 2292, dinilai sahih oleh al
Albani].
Sedangkan janji orang tua untuk memberikan bagi hasil jika
bisnisnya berhasil maka ini termasuk janji orang tua untuk memberi
pemberian kepada anak dan bukan termasuk ‘bagi hasil’ karena kerja sama
usaha dengan bukti tidak ada kesepakatan prosentase pembagian keuntungan
antara keduanya.
Dalam masalah pemberian kepada anak, orang tua
diperkenankan untuk meralat alias tidak jadi memberikan apa yang dia
janjikan sebagaimana dalam hadits berikut ini:
عَنْ عَمْرِو بْنِ
شُعَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي طَاوُسٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ
يَرْفَعَانِ الْحَدِيثَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُعْطِي عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ
فِيهَا إِلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِي
يُعْطِي عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ أَكَلَ حَتَّى
إِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ
Dari ‘Amr bin Syu’aib
dari Thawus dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Tidaklah halal bagi
seseorang yang memberikan pemberian kepada orang lain untuk menarik
kembali pemberiannya kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.
Permisalan orang yang memberi pemberian kemudian menarik kembali
pemberiannya adalah bagaikan seekor anjing yang makan sampai kenyang
lalu muntah kemudian menjilat kembali muntahannya” [HR Nasai no 3690 dan
dinilai sahih oleh al Albani].
Hadits di atas menunjukkan bahwa
“pemberian yang haram untuk ditarik kembali adalah pemberian kepada
selain anak”[Bahjah an Nazhirin karya Salim al Hilali jilid 3 hal 123,
terbitan Dar Ibnul Jauzi cet kedelapan 1425 H].
Jika pemberian yang
sudah diserahkan orang tua kepada anaknya boleh diralat alias ditarik
kembali maka terlebih lagi jika pemberian tersebut baru sekedar janji.
Tentu lebih boleh lagi untuk diralat.
Realita bahwa orang tua tidak
mewujudkan apa yang dia janjikan adalah bukti bahwa beliau menarik
kembali atau meralat keinginannya untuk memberi pemberian yang dia
janjikan kepada anaknya.
Kesimpulannya hutang bapak tersebut kepada
anaknya sama sekali tidak perlu dibayarkan. Demikian pula janji bapak
itu untuk memberi bagi hasil kepada anaknya itu tidak bisa dituntut dan
ditagih dengan mengambil sebagian harta warisan untuk hal tersebut.
Adapun
mendapatkan jatah warisan yang lebih banyak karena punya jasa membantu
bapak dalam masalah nafkah adalah suatu hal yang tidak bisa dibenarkan
karena anak yang membantu ayahnya dalam masalah nafkah itu ada dua
kemungkinan.
Pertama, hal itu dilakukan anak atas dasar permintaan
ayahnya maka hal ini termasuk dalam hadits “Engkau dan semua hartamu
adalah milik ayahmu”. Oleh karena itu, sang anak tidak punya hak untuk
meminta kompensasi dalam bentuk ‘pengistimewaan’ dalam jatah warisan.
Kedua,
boleh jadi hal itu dilakukan oleh anak dengan sukarela. Jika demikian
tidak boleh orang yang bersedekah dengan suka rela meminat kompensasi
atas sedekahnya. Hal ini termasuk bentuk menarik kembali pemberian yang
telah diberikan sedangkan Nabi telah bersabda, “Permisalan orang yang
memberi pemberian kemudian menarik kembali pemberiannya adalah bagaikan
seekor anjing yang makan sampai kenyang lalu muntah kemudian menjilat
kembali muntahannya”.
Dikhawatirkan hal ini termasuk mengungkit-ungkit pemberian yang merupakan dosa besar dalam Islam.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمْ:"ثَلاثَةٌ لا يُقْبَلُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
صَرْفٌ، وَلا عَدْلٌ: عَاقٌّ، وَمَنَّانٌ، وَمُكَذِّبٌ بِقَدْرٍ".
Dari
Abu Umamah, Rasulullah bersabda, “Ada tiga jenis manusia yang pada hari
Kiamat nanti tidak akan diterima amalannya baik yang wajib ataupun yang
sunnah. Itulah anak yang durhaka, orang yang mengungkit-ungkit pemberian
dan orang tidak percaya dengan takdir” [HR Thabrani dalam al Mu’jam al
Kabir no 7547 dan dinilai Hasan oleh Salim al Hilali dalam Nahwu Akhlaq
as Salaf hal 212].
No comments:
Post a Comment