Monday, July 23, 2012

Nyamuk Transgenik: Solusi dan Resiko

Dua kasus terkait dengan nyamuk, yaitu Demam berdarah dengue (DBD) dan Malaria menjadi perhatian serius masyarakat dunia. DBD adalah wabah musiman yang secara berkala menebar ancaman di seluruh wilayah tropis di dunia, terutama di daerah perkotaan. Sekitar 50-100 juta kasus DBD dilaporkan setiap tahunnya di seluruh dunia. Di Indonesia pada 2010 lalu, DBD memakan korban lebih dari 1.300 nyawa, selain menimbulkan biaya perawatan kesehatan yang sangat besar.
Sedangkan malaria setiap tahunnya menyebabkan 300 juta orang terjangkit dan sekitar sejuta orang di seluruh dunia meninggal akibat penyakit itu. Sejumlah 90% kasus terjadi di Afrika sub Sahara, di mana seorang anak meninggal akibat malaria setiap 30 detik. Di Indonesia, secara statistik jumlah penderita malaria tidak terlalu banyak dibandingkan dengan negara-negara Afrika, meskipun jumlahnya masih cukup besar. Jumlah pasien malaria tahun 2011 tercatat sebanyak 256.592 orang dengan jumlah kematian 388 orang, menurun dari 2010 yang berjumlah 432 kematian.

Hingga saat ini, tidak ada vaksin atau pengobatan khusus untuk DBD. Perawatan medis terutama dilakukan dengan mengelola demam dan memastikan kecukupan cairan tubuh, untuk mencegah komplikasi mematikan. Satu-satunya cara untuk mencegah penyakit ini adalah dengan mengontrol perkembangan nyamuk pembawa virusnya, yaitu Aedes aegypti, melalui pembersihan lingkungan dan penerapan insektisida (fogging, bubuk larvisida).
Usaha untuk penanggulangan penyakit malaria juga belum menunjukkan hal yang menggembirakan. Usaha yang dilakukan diantaranya adalah menggunakan pestisida pada kelambu, menangkap nyamuk dengan net dan kemudian membunuhnya dengan cara membakar. Penggunaan pestisida bisa menyebabkan munculnya nyamuk yang resisten terhadap pestisida, sehingga tidak memungkinkan penggunaan pestisida yang sama untuk jangka waktu yang lama. Penggunaan obat anti-malaria yang kebanyakan tidak efektif karena parasit menunjukan resistensi yang cepat terhadap obat-obat tersebut, apalagi obat yang dipakai hanya satu jenis. Usaha lain adalah pengembangan vaksin untuk pencegahan juga dilakukan, namun sampai saat ini belum ada vaksin yang bisa digunakan.
Dewasa ini tehnologi rekayasa genetik dilirik untuk mengatasi permasalahan DBD dan malaria. Para ilmuwan mencoba menciptakan nyamuk transgenik yang akan diintroduksi/dilepaskan ke dalam lingkungan. Sebuah terobosan yang menjadi harapan pun sekaligus kekhawatiran.
Nyamuk Transgenik untuk Penanggulangan DBD.
Nyamuk transgenik Aedes aegypti  jantan dikembangkan para ilmuwan di bawah bendera Oxitec, lembaga penelitian yang didirikan Universitas Oxford. Harapannya adalah Nyamuk-nyamuk transgenik jantan yang dilepaskan akan mencari dan mengawini betina A. aegypti di alam liar, bersaing dengan para pejantan alami. Ketika nyamuk jantan transgenik kawin dengan betina liar, keturunannya akan melalui tahap larva (jentik), tetapi mati sebagai kepompong sebelum mencapai dewasa. Dengan berulang-ulang melepaskan pejantan transgenik, maka populasi nyamuk pembawa virus ini akan berkurang hingga di bawah tingkat minimum yang diperlukan untuk mendukung penyebaran DBD. Metode ini dianggap sebagai alternatif insektisida yang lebih aman karena nyamuk jantan tidak menggigit atau menyebarkan penyakit, dan hanya kawin dengan betina dari spesies yang sama.
Studi lapangan telah dilakukan Oxitec  di kepulauan Cayman, sebuah wilayah luar Inggris di Karibia. Nyamuk-nyamuk hasil rekayasa genetik dilepaskan di wilayah tersebut. Dari pantauan mereka nyamuk transgenik telah berhasil mencari pasangan dan kawin dengan A. aegypti betina, terbukti dengan jentil-jentik nyamuk yang ditemukan dalam area studi mengandung transgen.
Nyamuk Transgenik untuk Penanggulangan Malaria.
Penanggulangan Malaria dengan Nyamuk Transgenik adalah dengan cara introduksi/menyebarkan nyamuk transgenik ke alam bebas. Mereka berharap nyamuk baru ini akan dapat berkembangbiak dan mengalahkan nyamuk pembawa penyakit. Nyamuk itu membawa gen yang dapat menangkis infeksi dari parasit malaria.
Rincian penelitian oleh satu tim di Amerika Serikat ini diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS). Di laboratorium, nyamuk transgenik dan nyamuk biasa dibiarkan menggigit tikus yang terinfeksi malaria. Sewaktu nyamuk-nyamuk tersebut berkembang biak, jumlah nyamuk transgenik yang dapat bertahan hidup lebih banyak dari nyamuk pembawa penyakit. Setelah sembilan generasi, 70% nyamuk yang ada adalah nyamuk yang kebal terhadap malaria.
"Anopheles gambiae hasil transgenik"Para ilmuwan juga memasukkan gen GFP (green fluorescent protein atau protein berpendar hijau) ke nyamuk transgenik sehingga mata nyamuk berpendar warna hijau. Ini akan memudahkan para peneliti menghitung jumlah nyamuk transgenik dan membedakannya dari nyamuk biasa.
Para peneliti menyimpulkan bahwa hasil ini memiliki implikasi penting bagi implementasi pengendalian malaria dengan cara modifikasi gen nyamuk. Nyamuk transgenik yang memiliki kemampuan mengacaukan pertumbuhan parasit malaria akan membuat organisme sulit berkembang setelah dimusnahkan dari satu daerah. Tetapi penelitian itu memiliki tantangan besar, menyebarkan gen itu dari seekor nyamuk hasil rekayasa genetika ke semua nyamuk di seluruh dunia bukanlah pekerjaan ringan. Kalau gen itu tidak memberikan keuntungan bagi nyamuk tersebut, gen tersebut akan hilang.
Kekhawatiran yang Muncul terhadap Nyamuk Transgenik.
Terhadap pengembangan nyamuk A. aegypti jantan transgenik yang dikembangkan Oxitec (OX513A) banyak kelompok masyarakat yang meminta untuk dilakukan kajian ulang yang lebih transparan. Sebuah tuntutan yang wajar mengingat akan kemungkinan atau resiko yang bisa terjadi.
Sejumlah kelompok lingkungan telah menyatakan keprihatinan terhadap pendekatan rekayasa genetika ini. Misalnya, Kelompok ETC di Ottawa, Kanada, dan EcoNexus Oxford, Inggris, yang menyatakan bahwa pelepasan nyamuk transgenik di alam liar dapat menciptakan sebuah “ceruk kosong” yang dapat diisi oleh nyamuk lain yang serupa, jika tidak lebih berbahaya. Kekhawatiran lainnya adalah kemungkinan konsekuensi yang belum dieksplorasi terhadap organisme lain di rantai atas makanan, misalnya cicak.
Rencana Uji lapangan nyamuk transgenik di Pahang dan Melaka, Malaysia misalnya, juga mendapat tentangan para ahli seperti Dr. Lim Thuang Seng, seorang ahli imunologi. Menurutnya Uji lapang nyamuk rekayasa genetik (transgenik) di Pahang dan Melaka, Malaysia tidak akan menimbulkan solusi apa pun dalam menghilangkan demam berdarah akibat serangan nyamuk Aedes aegypti di Malaysia, sebaliknya akan meningkatkan risiko kesehatan di  Malaysia. Dr Lim meminta Pemerintah Malaysia untuk serius mempertimbangkan kembali niat melepaskan nyamuk transgenik ini. Meskipun ada klaim resmi bahwa penelitian pada pelepasan nyamuk transgenik di Pulau Cayman untuk menghilangkan Aedes aegypti sukses, namun Dr Lim meragukan berapa lama pulau itu akan terbebas dari Aedes aegypti tanpa pelepasan nyamuk laki-laki transgenik secara berkesinambungan, sementara perusahaan yang mengembangkan nyamuk transgenik mengklaim nyamuk jantan transgenik akan mati dalam beberapa hari.
Menurut informasi Third World Network (TWN) pada 22 November 2010, rencananya Malaysia melakukan uji lapang nyamuk Aedes aegypti rekayasa genetik (transgenik) di sebuah kota kecil di negara bagian Pahang yang berjarak tidak jauh dari Kuala Lumpur dan negara bagian Melaka. Berdasarkan percobaan lapangan, nyamuk Aedes aegypti jantan transgenik (OX513A) akan dilepas dan dipelajari. Jika percobaan berhasil, nyamuk transgenik dapat digunakan sebagai bagian dari program untuk mengurangi demam berdarah di Malaysia, penyakit yang saat ini merajalela di negara ini.
Nyamuk transgenik secara genetik direkayasa untuk memasukkan dua sifat baru, yaitu: fluoresensi dan lethality bersyarat. Sifat fluoresensi bertindak sebagai penanda bagi nyamuk transgenik. Ketika nyamuk laki-laki transgenik kawin dengan nyamuk betina di alam bebas, sifat lethality bersyarat akan diteruskan kepada keturunannya dan larva nyamuk yang dihasilkan akan mati, hal ini terjadi bila tidak ada antibiotik tetrasiklin. (Terhadap hasil uji lapangan di malaysia ini belum ada pelaporan lebih lanjut yang bisa diaksesaan).
Lebih lanjut Dr Lim menyatakan, berdasarkan pengalaman Kepulauan Cayman dalam memerangi nyamuk A. aegypti, percaya metode tradisional pengendalian nyamuk yang digunakan saat ini cukup efektif jika dipraktikkan dalam kombinasi dan dilaksanakan terus menerus.
Pertanyaan penting yang harus dijawab terkait penggunaan nyamuk transgenik adalah tentang apa yang para ilmuwan boleh dan tidak boleh lakukan. Dapatkah mereka membatasi nyamuk yang terbang, atau manusia yang digigit nyamuk buatan laboratorium? Dan siapa yang mengendalikan kegiatan tersebut jika hal ini dilakukan sebuah perusahaan yang berusaha mendapatkan keuntungan dari itu? Disisi lain perusahaan lebih memilih menyembunyikan teknologi mereka, terutama tentang potensi bahaya. Padahal seharusnya karya perusahaan biotek harus transparan. Itulah inti dari masalah tersebut. Hal demikian juga berlaku bagi penggunaan nyamuk transgenik Anopheles untuk penanganan malaria. Jangan sampai nantinya pengujian lapangan dilakukan sembunyi-sembunyi, seolah masyarakat dijadikan kelinci (yang ‘congek’ untuk) percobaan.
Mengingat ketidakpastian dan banyak keprihatinan yang disampaikan berkaitan dengan teknologi, kesehatan, lingkungan, dan sebagainya, banyak pihak meminta untuk memikirkan kembali proyek nyamuk transgenik ini. Metode-metode pengendalian dengue maupun malaria lain yang kurang berisiko/lebih aman untuk bisa dipertimbangkan dan ditingkatkan, seperti  penelitian yang dilakukan para ilmuwan dari Inggris dan Amerika Serikat yang melakukan rekayasa genetik terhadap jamur Metarhizium anisopliae. Peneliti menemukan bahwa dalam kombinasi tertentu jamur transgenik ini memiliki kemampuan untuk menghentikan perkembangan parasit penyebab malaria di dalam nyamuk. Dalam jurnal Science, peneliti mengungkapkan cara ini menjadi pendekatan yang ramah lingkungan dalam memerangi malaria, serta bisa juga digunakan untuk mengendalikan penyakit akibat serangga seperti demam berdarah.
Untuk WHO sebagai badan kesehatan dunia PBB yang bertanggungjawab terhadap masalah penanggulangan DBD dan malaria, perlu segera menyusun agenda penanggulanggan serta mengatur penggunaan tehnologi rekayasa genetik di lapangan.(aan)
Sumber-sumber:
http://ggfw.blogspot.com/2010/12/nyamuk-transgenik-tingkatkan-risiko.html
http://majalahkesehatan.com/nyamuk-transgenik-harapan-baru-penanggulangan-dbd/
http://www.kamusilmiah.com/biologi/nyamuk-transgenik-strategi-baru-pengontrol-malaria/
http://www.sehatnews.com/2012/04/25/tak-banyak-penderita-malaria-di-indonesia-tapi-jumlahnya-besar/
http://majalahkesehatan.com/nyamuk-transgenik-harapan-baru-penanggulangan-dbd/

No comments:

Post a Comment