Tuesday, July 31, 2012

Hukum Raket Listrik Pembunuh Nyamuk

ustadz, ane mau tanya, bagaimana hukum memakai raket pembunuh
nyamuk mengingat banyak dari kita yang menggunakannya.
Didik (didiknet2@gmail.com)

Jawab:
Simaklah fatwa Lajnah Daimah no 5176 berikut ini:
Pertanyaan, “Apa hukum membunuh nyamuk atau binatang semisal dengan raket listrik padahal Nabi memerintahkan kita untuk membunuh atau menyembelih binatang dengan cara yang baik?”
Jawaban, “Jika binatang tersebut itu secara riil memang mengganggu dan tidak ada jalan untuk terbebas dari gangguannya kecuali dengan membunuhnya menggunakan raket listrik atau alat semisalnya hukum membunuhnya dengan cara semacam itu diperbolehkan.
Hukum di atas adalah pengecualian dari perintah untuk membunuh binatang dengan cara yang baik karena alasan kondisi darurat. Inilah kesimpulan umum yang bisa kita ambil dari sabda Nabi, “Ada lima hewan pengganggu yang boleh dibunuh baik di tanah haram ataupun di tanah halal, burung gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus dan anjing yang galak” [HR Bukhari, Muslim dll].
Alasan lain adalah mengingat perintah Nabi untuk menenggelamkan lalat yang jatuh ke gelas berisi minuman ke dalam minuman yang boleh jadi dengan hal tersebut lalat tadi mati”.
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku ketua Lajnah Daimah dan Abdullah bin Qaud selaku anggota. [Fatawa Lajnah Daimah yang dikumpulkan oleh Syaikh Ahmad bin Abdurrazzaq ad Duwaisy jilid 26 kitab al Jami’ hal 192-193, terbitan Ulin Nuha lil Intaj, Kairo].

Bismillah
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabaarakatuh.
Ustadz, Di antara ulama yang mengharamkan dan yang membolehkan
perhiasan emas yang bentuknya melingkar bagi wanita, manakah yang
rajih? Kami mohon penjelasannya.
Baarakallaahufiikum.
Wassalamu'alaikum warahmatullaahi wabaarakatuh.
Salim (sulaim73@gmail.com)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarokatuh
Yang benar wanita diperbolehkan memakai segala bentuk emas baik yang melingkar ataupun tidak.
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتٌ لَهَا فِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ أَتُؤَدِّينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakek ayahnya yaitu Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash, ada seorang wanita Yaman yang datang menemui Rasulullah bersama seorang anak perempuannya yang memakai gelang emas yang besar. Nabi bersabda kepada sang ibu, “Apakah telah kaubayarkan zakat dari gelang itu?” Sang ibu menjawab, “Belum”. Nabi bersabda, “Apakah anda senang jika Allah pada hari Kiamat nanti mengenakan pada tangan anda dua gelang dari api neraka?!”. Sang ibu lantas melepas dua buah gelang tersebut dari putrinya dan menyerahkannya kepada Rasulullah lalu berikrar, “Dua gelang tersebut untuk Allah dan rasul-Nya” [HR Nasai no 2479, dinilai hasan oleh al Albani].
Dalam hadits di atas Nabi menjelaskan wajibnya zakat pada dua gelang tersebut. Nabi tidak menyalahkan tindakan sang ibu yang mengenakan gelang pada putrinya maka hal ini adalah dalil menunjukkan bolehnya hal tersebut, padahal tentu saja gelang tersebut melingkar.
عن عائشة رضى الله عنها قالت قدمت على النبى -صلى الله عليه وسلم- حلية من عند النجاشى أهداها له فيها خاتم من ذهب فيه فص حبشى - قالت - فأخذه رسول الله -صلى الله عليه وسلم- بعود معرضا عنه أو ببعض أصابعه ثم دعى أمامة ابنة أبى العاص ابنة ابنته زينب فقال « تحلى بهذا يا بنية ».
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa Nabi mendapatkan hadiah dari Najasyi berupa beraneka ragam perhiasan diantaranya adalah cincin emas yang bermata batu khas Habasyah. Rasulullah mengambil cincin tersebut sambil memalingkan muka dengan menggunakan kayu atau salah satu jarinya kemudian beliau memanggil Umamah binti Abil ‘Ash yang merupakan cucu beliau karena Umamah ini merupakan putri dari Zainab. Setelah Umamah datang beliau mengatakan, “Berhiaslah dengan cincin ini wahai putriku” [HR Abu Daud no 4235, sanadnya dinilai hasan oleh Al Albani].
Dalam hadits di atas Nabi memberi Umamah cincin yang tentu saja adalah emas yang melingkar dan Nabi berkata “Berhiaslah dengan memakainya” maka ini adalah dalil tegas menunjukkan bolehnya emas melingkar sebagai hiasan.
عن عطاء عن أم سلمة قالت كنت ألبس أوضاحا من ذهب فقلت يا رسول الله أكنز هو فقال « ما بلغ أن تؤدى زكاته فزكى فليس بكنز ».
Dari Atha’ dari Ummu Salamah, beliau bercerita bahwa beliau memakai gelang kaki dari emas lalu beliau bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, apakah gelang kaki ini adalah simpanan yang terlarang?”. Nabi bersabda, “Jika sudah waktunya untuk dizakati lalu zakatnya sudah dibayarkan maka itu bukanlah harta simpanan yang terlarang”[HR Abu Daud no 1564].
Dalam hadits di atas Nabi mengizinkan Ummu Salamah untuk memakai gelang kaki terbuat dari emas asalkan kewajiban zakatnya sudah dibayarkan.




Assalamu'alaikum ustadz,
saya mau tanya siapakah yang dianjurkan mengadakan walimah? Dari pihak ikhwan atau pihak akhwat?
Hana (h_zieza@yahoo.com)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Syaikh Abdullah al Bassam mengatakan, “Sesungguhnya walimah nikah itu menjadi tanggung jawab suami bukan tanggung jawab isteri atau orang tua isteri karena suami isterilah yang punya acara walimah nikah. Sedangkan suamilah yang bertanggung jawab memberi nafkah sehingga walimah nikah adalah tanggung jawab suami. Nabi bersabda kepada suami,
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakanlah walimah nikah meski hanya dengan menyembelih seekor kambing” [HR Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik].
Jadi suamilah yang diperintahkan oleh Nabi untuk mengadakan walimah nikah” [Taudhih al Ahkam juz 5 hal 484 Darul Maiman Riyadh, cet kedua 1430 H].





Ustadz...
ada seorang bapak meninggal dunia, dulu pernah pinjam 2 bahu tanah
milik anaknya yang sudah menikah dengan menjanjikan bagi hasil kalau
bisnisnya berhasil, tetapi sekian lama tidak kunjung ada bagi hasil
sampai akhirnya bapak itu wafat.
pertanyaanya...bapak itu meninggalkan harta warisan berupa tanah dan
bangunan, apakah hutang yang bapak tersebut kepada anaknya wajib
dibayar? lalu bagaimana dengan janji bapak itu yang akan memberi hasil
apakah juga harta itu bisa diambil dengan nilai hasil dari pinjaman?
kedua ada diantara anak-anaknya yang saat adik-adiknya masih sekolah
banyak membantu bapak itu dalam nafkah, berhakkah anak tersebut
mendapatkan harta warisan yang lebih karena jasanya itu? mohon
penjelasannya beserta dalil-dalilnya, jazakallah khoiron katsiro
Abu Naoval (dedetaruna@plasa.com)

Jawab:
Jika ortu mengambil harta anak maka tidak boleh bagi anak untuk menuntut orang tuanya agar mengembalikannya. Jika ternyata orang tua mengembalikan maka Alhamdulillah namun jika tidak mengembalikan maka itulah hak orang tua.
عن عائشة عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال " ولد الرجل من كسبه من أطيب كسبه فكلوا من أموالهم "
Dari Aisyah dari Nabi, beliau bersabda, “Anak seseorang itu termasuk jerih payah orang tersebut bahkan termasuk jerih payahnya yang paling bernilai maka makanlah sebagian harta anak” [HR Abu Daud no 3529 dan dinilai sahih oleh al Albani].
إن من أطيب ما أكل الرجل من كسبه وولده من كسبه
Nabi bersabda, “Seenak-enak makanan yang dimakan oleh seseorang adalah hasil jerih payah seseorang dan anak seseorang adalah termasuk jerih payahnya” [HR Abu Daud no 3528 dan dinilai sahih oleh al Albani].
عن جابر بن عبد الله أن رجلا قال يا رسول الله إن لي مالا وولدا. وإن أبي يريد أن يجتاح مالي. فقال: ( أنت ومالك لأبيك )
Dari Jabir bin Abdillah, ada seorang berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak namun ayahku ingin mengambil habis hartaku”. Rasulullah bersabda, “Engkau dan semua hartamu adalah milik ayahmu” [HR Ibnu Majah no 2291, dinilai sahih oleh al Albani].
Hadits ini menunjukkan bahwa sang anak dalam hal ini sudah berkeluarga bahkan sudah memiliki anak meski demikian Nabi tetap mengatakan “Semua hartamu adalah milik ayahmu”.
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال إن أبي اجتاح مالي. فقال:( أنت ومالك لأبيك ) وقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إن أولادكم من أطيب كسبكم . فكلوا من أموالهم )
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakek ayahnya yaitu Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash, ada seorang yang menemui Nabi lalu mengatakan, “Sesungguhnya ayahku itu mengambil semua hartaku”. Nabi bersabda, “Engkau dan semua hartamu adalah milik ayahmu”. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya anak-anak kalian adalah termasuk jerih payah kalian yang paling berharga. Makanlah sebagian harta mereka” [HR Ibnu Majah no 2292, dinilai sahih oleh al Albani].
Sedangkan janji orang tua untuk memberikan bagi hasil jika bisnisnya berhasil maka ini termasuk janji orang tua untuk memberi pemberian kepada anak dan bukan termasuk ‘bagi hasil’ karena kerja sama usaha dengan bukti tidak ada kesepakatan prosentase pembagian keuntungan antara keduanya.
Dalam masalah pemberian kepada anak, orang tua diperkenankan untuk meralat alias tidak jadi memberikan apa yang dia janjikan sebagaimana dalam hadits berikut ini:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي طَاوُسٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ يَرْفَعَانِ الْحَدِيثَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُعْطِي عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا إِلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِي يُعْطِي عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ أَكَلَ حَتَّى إِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Thawus dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Tidaklah halal bagi seseorang yang memberikan pemberian kepada orang lain untuk menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Permisalan orang yang memberi pemberian kemudian menarik kembali pemberiannya adalah bagaikan seekor anjing yang makan sampai kenyang lalu muntah kemudian menjilat kembali muntahannya” [HR Nasai no 3690 dan dinilai sahih oleh al Albani].
Hadits di atas menunjukkan bahwa “pemberian yang haram untuk ditarik kembali adalah pemberian kepada selain anak”[Bahjah an Nazhirin karya Salim al Hilali jilid 3 hal 123, terbitan Dar Ibnul Jauzi cet kedelapan 1425 H].
Jika pemberian yang sudah diserahkan orang tua kepada anaknya boleh diralat alias ditarik kembali maka terlebih lagi jika pemberian tersebut baru sekedar janji. Tentu lebih boleh lagi untuk diralat.
Realita bahwa orang tua tidak mewujudkan apa yang dia janjikan adalah bukti bahwa beliau menarik kembali atau meralat keinginannya untuk memberi pemberian yang dia janjikan kepada anaknya.
Kesimpulannya hutang bapak tersebut kepada anaknya sama sekali tidak perlu dibayarkan. Demikian pula janji bapak itu untuk memberi bagi hasil kepada anaknya itu tidak bisa dituntut dan ditagih dengan mengambil sebagian harta warisan untuk hal tersebut.
Adapun mendapatkan jatah warisan yang lebih banyak karena punya jasa membantu bapak dalam masalah nafkah adalah suatu hal yang tidak bisa dibenarkan karena anak yang membantu ayahnya dalam masalah nafkah itu ada dua kemungkinan.
Pertama, hal itu dilakukan anak atas dasar permintaan ayahnya maka hal ini termasuk dalam hadits “Engkau dan semua hartamu adalah milik ayahmu”. Oleh karena itu, sang anak tidak punya hak untuk meminta kompensasi dalam bentuk ‘pengistimewaan’ dalam jatah warisan.
Kedua, boleh jadi hal itu dilakukan oleh anak dengan sukarela. Jika demikian tidak boleh orang yang bersedekah dengan suka rela meminat kompensasi atas sedekahnya. Hal ini termasuk bentuk menarik kembali pemberian yang telah diberikan sedangkan Nabi telah bersabda, “Permisalan orang yang memberi pemberian kemudian menarik kembali pemberiannya adalah bagaikan seekor anjing yang makan sampai kenyang lalu muntah kemudian menjilat kembali muntahannya”.
Dikhawatirkan hal ini termasuk mengungkit-ungkit pemberian yang merupakan dosa besar dalam Islam.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ:"ثَلاثَةٌ لا يُقْبَلُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفٌ، وَلا عَدْلٌ: عَاقٌّ، وَمَنَّانٌ، وَمُكَذِّبٌ بِقَدْرٍ".
Dari Abu Umamah, Rasulullah bersabda, “Ada tiga jenis manusia yang pada hari Kiamat nanti tidak akan diterima amalannya baik yang wajib ataupun yang sunnah. Itulah anak yang durhaka, orang yang mengungkit-ungkit pemberian dan orang tidak percaya dengan takdir” [HR Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir no 7547 dan dinilai Hasan oleh Salim al Hilali dalam Nahwu Akhlaq as Salaf hal 212].

No comments:

Post a Comment